Senin, 02 Desember 2019

AINA, Randang Kinari Nan Lamak yang Go International

Sumber: Andika Martha, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Andalas.

Randang tidak asing lagi oleh masyarakat yang tinggal di daerah  Sumatera Barat karena di daerah-daerah yang berada di Sumbar Mempunyai Rendang khas tersendiri. Randang adalah msakan daging yang dicampur dengan bumbu-bumbu yang dibuat pedas yang dimana proses memasaknya dilakukan secara berulang-ulang dengan menggunakan santan.

Randang di kinari sangat berbeda dari rending-rendang daerah lain karena rendang di Kinari bentuknya sangat hitam dan kering. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan rendang seperti daging, cabai merah, bawang putih, santan, kunyit, dan serai.
Rendang di kinari biasanya digunakan pada saat upacara perkawinan, batagak gala dan mendoa. Biasanya masayarakat kinari membuat rending secara bergotng royong seperti saat acara perkawinan pada saat memasak rendang oleh pemilik rumah yang mengadakan pesta perkawinan, msayarakat yang tinggal di sekitar daerah Kinari berbondong-bondong membantu untuk memasakan rendang, pada saat memasaka si pemilik acara tidak mengatakan memanggil masyarakat di kinari tetapi atas kesadaran masyarakat tersebut terutama ibu-ibu untuk membantu untuk memasakkan rendang pada acara upacara perkawinan secara sukarela dan membantu atas keiginan sendiri.
Pada saat batagak gala juga begitu para ibu-ibu waktu acara tersebut memasak rendang secara gotong royong yang dimana memasak secara bersama dan juga pada waktu acara mandoa juga seperti itu biasanya masyarakat bergotong-royong untuk memasaka rendang tersebut.
Di Kinari rendang yang berada di luar kinari atau di daerah lain yang berada di sumatera barat mereka menyebut rendang tersebut kalio menurut msayarakat kinari bentuk rendang tersebut adalah hitam, berminyak dan kering yang dimana rendang kinari lebih hitam dari pada rendang biasanya.


 Pada saat memasak randang biasnya masyarakat kinari memasaknya diluar rumah yang dimana biasanya memasak tersebut di halaman ruman masyarakat kinari memasak secara gotong royong biasanya membagi tugas masing-masing dan memasak pun menggunakn tungku besar dan menggunakan kuali yang sangat besar. Dalam membawa peralatan biasanya peralatan tersebut dicari bersama-sama dan apabila ada salah satu ibu yang memasak tersebut punya maka ibu tersebut membawa peralatan tersebut.

Sumber: Yudha Suhatra, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Andalas

Rendang di kinari sudah go international yang dimana rendang kinari sudah dijual ke berbagai Negara tetangga seperti Malaysia, rendang kinari tidak hanya di gunakan sebagai acara adat tetapi juga diperjual belikan kepada masyarakat luar. Karena mempunyai ciri khas tersendiri dari rendang lain rendang tersebut mudah dijual ke berbagai daerah. Nama rendang kinari yang dijual tersebut bernama rendang Aina yang dimana merupakan warisan kinari.





Entri ini ditulis oleh Andika Martha 

Selasa, 12 November 2019

Redupnya Bakureh di Nagari Kinari


Sumber: Daffa Muhammad Fadel Wibowo
Gotong-royong adalah falsafah hidup masyarakat Nagari Kinari. Di berbagai daerah yang budayanya berbeda-beda di Indonesia, falsafah gotong-royong hidup dalam bentuk kegiatan antar individu di kehidupan bermasyarakat. 

Bakureh adalah salah satunya. Secara umum, yang saya tahu tentang bakureh hanyalah sesederhana masak bersama antara ibu-ibu, namun ternyata ada beberapa hal yang menarik untuk saya pahami. Apa itu bakureh, bagaimana dampak dari bakureh bagi masyarakat, dan tata cara atau proses saat diadakan bakureh memasak, serta perkembangan saat ini.

Menjadi kuli, itulah istilah lain dari bakureh. Memang ini bisa menggambarkan kegiatannya, tapi tidak seperti menjadi kuli dalam pengertian negatif. Dalam keseharian masyarakat Nagari Kinari, bakureh adalah kegiatan gotong-royong antar warga, saling menyumbangkan tenaga, bekerja sama dalam suatu kegiatan. Salah satunya bakureh dalam kegiatan memasak. Memang bakureh lebih seperti aktivitas berkerjasama, sebagai orang dalam di sebuah kegiatan. Jika terdapat pesta seperti pernikahan tetangga, batagak gala (penyematan gelar adat), turun ka sawah (turun ke sawah), syukuran, dll, maka beberapa ibu-ibu akan bakureh, memasak untuk hidangan tamu dan warga yang datang.

Bakureh memasak dalam sebuah acara dilakukan dari pagi hari sampai petang, biasanya satu hari sebelum pesta dilaksanakan. Ibu-ibu rumah tangga yang menghabiskan waktu seharian untuk bakureh biasanya –meskipun tidak meminta izin langsung si tuan rumah- akan membawa beberapa bungkus makanan yang sudah matang untuk dibawa pulang. Hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Nagari Kinari saat bakureh. Karena saat proses bakureh berlangsung, ibu-ibu tidak akan punya waktu memasak di rumah, dan saat pulang dari bakureh pun mereka sudah terlalu lelah untuk masak lagi. Jadi, masakan yang dibawa pulang pun mencukupi porsi satu hari di setiap keluarga.

Saiful, kepala jorong Galanggang Tinggi juga menegatakan bahwa pada zaman dahulu orang-orang membuat kajang dari pelapah daun kelapa muda yang dirajut dan dijadikan sebagai atap dan tonggaknya dibuat dari bambu yang dipotong-potong. Sedangkan pada zaman sekarang orang-orang sudah banyak menggunakan terpal untuk membuat kajang. Hal ini dikarenakan selain cepat dan mudah menggunakan terpal, membuat kajang dari pelapah daun kelapa pun susah di zaman sekarang, karena pelapah daun kelapa sudah sangat jarang yang membuatnya.

Setelah tungku dan kajang selesai disiapkan, ibu-ibu mulai bekerja sama dan membagi tugas dalam urusan memasak nanti. Ada yang tugasnya membeli bahan-bahan ke pasar, ada yang tugasnya memotong bahan-bahan, menyiapkan peralatan, ada yang menggoreng, membuat gulai dan lain sebagainya. Masakan yang dibuat umumnya adalah masakan tradisional atau khas lokal seperti; rendang, gulai rabuang, gulai pisang, gulai dagiang, gulai cubadak, dan masih banyak lagi.

Dalam pesta pernikahan, banyaknya jenis makanan diistilahkan dengan duo baleh gulai dalam sabaki (dua belas gulai dalam satu baki).Beberapa hal yang dapat saya pahami dari penjelasan kepala Jorong Galanggang Tinggi, ternyata bakureh tidak hanya dilakukan pada acara-acara adat atau acara besar lainnya, bahkan pada saat ada gotong-royong warga kampung yang sedang membangun rumah, ngeronda, atau sekedar membersihkan lingkungan kampung dan ibu-ibu di sekitar memasak dengan inisiatif sendiri meskipun hanya dua atau tiga orang saja yang bekerja – dihidangkan kepada orang-orang yang sedang bergotong-royong.

Di Nagari Kinari tidak ada istilah baupah (‘memberi/menerima upah’). Artinya, bakureh dilakukan secara sukarela dan bergotong royong sebagai bentuk bantuan dari para tetangga untuk keluarga Sipangka. Meskipun begitu, secara adat, keluarga Sipangka tetap wajib mengundang tetangga secara langsung untuk meminta bantuannya memasak di dapur. Undangan ini sebagai perpanjangan hubungan silaturrahmi antara Sipangka dan para tetangga.

Saling mengundang ini menunjukkan kuat-lemahnya rasa kekerabatan kita dalam bertetangga. Selain itu, kewajiban mengundang dan datang bakureh sudah menjadi tradisi dari zaman nenek moyang. Sehingga, apabila misalnya salah satu tetangga lupa atau tidak diundang bakureh, tetangga tersebut tidak akan datang. Umumnya, kejadian seperti ini memang tidak dipermasalahkan atau tidak dimasukkan ke dalam hati. Sebab, masing-masing orang sudah paham bahwa dalam keadaan baralek, kita bisa saja tidak fokus dan melupakan beberapa hal, seperti mengundang salah satu tetangga.

Tradisi bakureh di Nagari Kinari mulai luntur. Salah satu contohnya adalah tradisi berbalas pantun dalam kegiatan bakureh. Salah satu penyebabnya adalah generasi terdahulu yang masih melestarikan berbalas pantun dan dendang tersebut sudah tidak aktif pergi bakureh. Menurut ibu Yus, kemungkinan orang yang masih dekat dengan tradisi bapantun (berbalas pantun) adalah mereka yang usianya 70 tahun ke atas.

Penyebab lainnya, adalah tradisi bapantun, yang menurut saya merupakan hiburan saat memasak dalam kegiatan bakureh tersebut, tidak pula diturunkan. Menurut saya pribadi, hal ini bisa saja disebabkan oleh kemunculan teknologi radio dan disusul ponsel pintar. Teknologi ini memudahkan orang untuk mengakses lagu, seperti lagu-lagu daerah, lagu dangdut, lagu pop atau lagu rohani, yang bisa dijadikan hiburan. Bakureh dapat di lihat sebagai sebuah perkerjaan dapur atau pekerjaan di balik layar. Bakureh dalam segala kegiatan membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dari yang saya pahami bakureh mengajak kita peduli terhadap sesama, sadar bahwa saling membutuhkan dan saling menghargai. 

Rabu, 14 Agustus 2019

Masjid Raya Ganting, Simbol Agung Kota Padang

Sumber: Daffa Muhammad Fadel Wibowo











Masjid Raya Ganting, terletak di kelurahan Ganting, Kecamatan Padang Timur, Sumatra Barat, Indonesia. Lokasi masjid ini pada awalnya berada di tepi batang (sungai) Harau di kaki Gunung Padang yang berjarak empat kilometer dari lokasi saat ini. Saat itu, bangunan masjid di lokasi lama dihancukan Belanda pada 1790 karena mau membuat jalan menuju pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur). Itulah yang menjadi alasan kepindahan masjid ini ke lokasi yang sekarang.


Masjid Raya Ganting, adalah juga sebuah monumen dari kota tua yang nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuknya kota modern yang dibangun secara serampangan. Masjid ini, menurut tutur tetua Ganting, dibangun awal tahun 1815 dan baru benar-benar selesai setelah 100 tahun kemudian. Masjid ini, ketika itu, merupakan sebuah kebanggaan umat Islam Padang. Menurut ahli hisab, (alm) Nurmal Nur, teramat banyak masjid baru di Padang yang salah arah kiblatnya. Namun tidak Masjid Raya Ganting.

Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh tiga orang tokoh Kampung Gantiang dari suku Chaniago yang bernama Angku Gapuak seorang saudagar, Angku Syeikh H.Uma yang merupakan kepala kampung Ganting dan Angku Syeikh Kapalo Koto seorang ulama. Selanjutnya, ketiga tokoh tersebut itu menghubungi para saudagar untuk meminta bantuan dana. Dengan maksud yang sama, mereka juga menghubungi teman-teman mereka di Sibolga, Medan dan Aceh serta melibatkan unsur ulama di Minagkabau. Dengan perjuangan panjang dan didorong oelh semangat masyarakat, maka berdirilah masjid yang diidam-idamkan.


Perpaduan arsitektur dari berbagai etnis terlihat jelas di masjid ini, seperti Eropa, Cina, Timur Tengah dan Minangkabau. Masjid ini memiliki bentuk atap dengan lima susunan yang berundak-undak dengan puncak kubah berhiaskan mustaka. Terdapat celah untuk pencahayaan di setiap susunan atapnya. Tingkat pertama berbentuk persegi, sedangkan tingkat dua hingga empat berbentuk persegi delapan.

Masjid yang pembangunannya melibatkan beragam bangsa ini menjadi pusat pergerakan reformasi Islam di daerah tersebut pada abad ke-19, Masjid ini termasuk bangunan yang tetap utuh setelah gelombang tsunami menerjang kota Padang dan sekitarnya akibat gempa bumi tahun 1833, walaupun mengalami kerusakan cukup berarti akibat gempa tahun 2005 dan 2009.

Pasca gempa 30 September 2009 ,  Masjid tertua di Kota Padang tersebut rusak parah dan dinyatakan tidak layak pakai. Sejak Februari 2010, Masjid ini direnovasi atas bantuan dari Bank Mandiri dengan total biaya Rp1,3 miliar. (fad)




Jumat, 07 Juni 2019

Nagari Pariangan, Surga di Indonesia

Sumber: Daffa Muhammad Fadel Wibowo




















Majalah pariwisata Internasional dari New York, Amerika Serikat, Budget Travel pada 2012 menetapkan Kawasan Nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat sebagai salah satu desa terindah di dunia.

Kawasan Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat merupakan desa tertua di Sumbar. Setelah ditetapkan sebagai "Desa Terindah di Dunia" versi majalah pariwisata Internasional dari New York, Amerika Serikat, Budget Travel pada 2012, nagari ini semakin dikenal dunia.

Menurut Budget Travel, nagari ini termasuk dalam daftar desa terindah dunia yang menyuguhkan pemandangan indah, suasana tenang, dan udara yang sejuk karena berada di ketinggian 500 hingga 700 meter di atas permukaan laut.

Pariangan merupakan sebuah nagari tertua Minangkabau, Sumatera Barat yang berada tepat di lereng Gunung Marapi yang masih aktif. Nagari itu masih terjaga kelestariannya. Mulai dari budaya, adat istiadat dan arsitektur bangunannya yang khas masih tetap ada dan bertahan sampai sekarang. Bangunan rumah gadang lengkap dengan dinding yang terbentuk dari anyaman rotan, serta berhiaskan ukiran kayu menjadi ciri khas kampung ini.

Berkat keindahan alam dan kebudayaannya yang masih terjaga, Pariangan memiliki nilai keindahan yang khusus. Apalagi dengan adanya masjid terbesar di abad ke-19, menambah kekayaan budaya tradisi, adat istiadat, cagar budaya dan sejarah yang tak ternilai harganya.

Ketika mengunjungi Sumatera Barat, Rumah Gadang adalah pemandangan yang akan Anda lihat disepanjang jalan, tidak jauh berbeda dengan Nagari Pariangan. Setiap mata memandang, Anda akan melihat atap rumah gadang yang khas.

Keunikan dari rumah Gadang di Nagari Pariangan adalah Rumah Gadang disini terlihat sangat tua dengan kayu – kayu yang mulai lapuk dimakan usia. Konon katanya Rumah Gadang disini dibangun tanpa menggunakan paku dan masih menggunakan cara tradisional ketika membangunnya.

Selain rumah gadang yang sudah tua, desa ini juga memiliki bangunan masjid yang dibangun pada abad ke-19, Masjid Ishlah. Masjid ini dibangun ileh Syekh Burhanuddin yaitu seorang ulama besar Minang. Masjid ini menjadi bangunan tertua di Nagari Pariangan dan uniknya masjid ini tidak menggunakan arsitektur Gadang. Di masjid ini juga Anda dapat berwudhu menggunakan air hangat.

Kesuburan tanah Nagari Pariangan tidak dapat diragukan lagi, oleh karena itu Nagari Pariangan menjadi desa pertanian yang mana sebagian penduduknya menjadi petani. Dengan menggunakan sistem berjenjang, hamparan sawah disini tidak hanya menjadi sumber daya pangan warganya namun juga menjadi spot yang tepat untuk berfoto ria. Udara yang sejuk dan haparan sawah yang hijau akan memanjakan mata Anda. (fad)


AINA, Randang Kinari Nan Lamak yang Go International

Sumber: Andika Martha, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Andalas. Randang  tidak asing lagi oleh masyarakat yang tinggal di daerah...