Sumber: Daffa Muhammad Fadel Wibowo |
Gotong-royong adalah falsafah hidup masyarakat Nagari Kinari. Di berbagai daerah yang budayanya berbeda-beda di
Indonesia, falsafah gotong-royong hidup dalam bentuk kegiatan antar individu di kehidupan
bermasyarakat.
Bakureh adalah
salah satunya. Secara umum, yang saya tahu tentang bakureh hanyalah sesederhana
masak bersama antara ibu-ibu, namun ternyata ada beberapa hal yang menarik untuk
saya pahami. Apa itu bakureh,
bagaimana dampak dari bakureh bagi masyarakat, dan tata cara atau
proses saat diadakan bakureh memasak, serta perkembangan saat ini.
Menjadi kuli, itulah istilah lain dari bakureh. Memang ini bisa menggambarkan kegiatannya,
tapi tidak seperti menjadi kuli dalam pengertian negatif. Dalam keseharian
masyarakat Nagari Kinari, bakureh adalah kegiatan gotong-royong antar
warga, saling menyumbangkan tenaga, bekerja sama dalam suatu kegiatan. Salah satunya bakureh dalam
kegiatan memasak. Memang bakureh lebih seperti aktivitas
berkerjasama, sebagai orang dalam di sebuah kegiatan. Jika terdapat pesta seperti
pernikahan tetangga, batagak gala (penyematan
gelar adat), turun ka sawah (turun ke sawah), syukuran, dll, maka beberapa ibu-ibu akan bakureh, memasak
untuk hidangan tamu dan warga yang datang.
Bakureh memasak dalam sebuah acara dilakukan dari pagi hari
sampai petang, biasanya satu hari sebelum pesta dilaksanakan. Ibu-ibu rumah
tangga yang menghabiskan waktu seharian untuk bakureh biasanya
–meskipun tidak meminta izin langsung si tuan rumah- akan membawa beberapa
bungkus makanan yang sudah matang untuk dibawa pulang. Hal ini sudah menjadi
kebiasaan masyarakat
Nagari Kinari saat bakureh. Karena
saat proses bakureh berlangsung, ibu-ibu tidak akan punya waktu
memasak di rumah, dan saat pulang dari bakureh pun mereka sudah
terlalu lelah untuk masak lagi. Jadi, masakan yang dibawa pulang pun mencukupi
porsi satu hari di setiap keluarga.
Saiful, kepala jorong Galanggang
Tinggi juga menegatakan bahwa pada zaman dahulu orang-orang membuat kajang dari pelapah daun kelapa
muda yang dirajut dan dijadikan sebagai atap dan tonggaknya dibuat dari bambu yang
dipotong-potong. Sedangkan pada zaman sekarang orang-orang sudah banyak
menggunakan terpal untuk membuat kajang. Hal ini dikarenakan selain cepat
dan mudah menggunakan terpal, membuat kajang dari pelapah daun kelapa pun susah
di zaman sekarang, karena pelapah daun kelapa sudah sangat jarang yang
membuatnya.
Setelah tungku dan kajang selesai
disiapkan, ibu-ibu mulai bekerja sama dan membagi tugas dalam urusan memasak
nanti. Ada yang tugasnya membeli bahan-bahan ke pasar, ada yang tugasnya
memotong bahan-bahan, menyiapkan peralatan, ada yang menggoreng, membuat gulai
dan lain sebagainya. Masakan yang dibuat umumnya adalah masakan tradisional
atau khas lokal seperti; rendang, gulai rabuang, gulai pisang, gulai
dagiang, gulai cubadak, dan masih banyak lagi.
Dalam pesta
pernikahan, banyaknya jenis makanan diistilahkan dengan duo baleh gulai dalam sabaki (dua
belas gulai dalam satu baki).Beberapa hal yang dapat saya pahami dari
penjelasan kepala Jorong Galanggang Tinggi, ternyata bakureh tidak
hanya dilakukan pada acara-acara adat atau acara besar lainnya, bahkan pada
saat ada gotong-royong warga kampung yang sedang membangun
rumah, ngeronda, atau sekedar membersihkan lingkungan kampung dan ibu-ibu
di sekitar memasak dengan inisiatif sendiri meskipun hanya dua atau tiga orang
saja yang bekerja – dihidangkan kepada orang-orang yang sedang bergotong-royong.
Di Nagari Kinari tidak ada istilah baupah (‘memberi/menerima upah’).
Artinya, bakureh dilakukan
secara sukarela dan bergotong royong sebagai bentuk bantuan dari para tetangga
untuk keluarga Sipangka.
Meskipun begitu, secara adat, keluarga Sipangka tetap
wajib mengundang tetangga secara langsung untuk meminta bantuannya memasak di
dapur. Undangan ini sebagai perpanjangan hubungan silaturrahmi antara Sipangka dan para tetangga.
Saling mengundang ini menunjukkan kuat-lemahnya rasa
kekerabatan kita dalam bertetangga. Selain itu, kewajiban mengundang dan
datang bakureh sudah menjadi tradisi dari zaman nenek moyang. Sehingga,
apabila misalnya salah satu tetangga lupa atau tidak diundang bakureh,
tetangga tersebut tidak akan datang. Umumnya, kejadian
seperti ini memang tidak dipermasalahkan atau tidak dimasukkan ke dalam hati.
Sebab, masing-masing orang sudah paham bahwa dalam keadaan baralek, kita
bisa saja tidak fokus dan melupakan beberapa hal, seperti mengundang salah satu
tetangga.
Tradisi bakureh di
Nagari Kinari mulai luntur. Salah satu contohnya adalah tradisi berbalas pantun
dalam kegiatan bakureh. Salah
satu penyebabnya adalah generasi terdahulu yang masih melestarikan berbalas
pantun dan dendang tersebut sudah tidak aktif pergi bakureh. Menurut ibu Yus, kemungkinan orang yang masih dekat dengan tradisi bapantun (berbalas pantun) adalah
mereka yang usianya 70 tahun ke atas.
Penyebab lainnya, adalah tradisi bapantun, yang
menurut saya merupakan hiburan saat memasak dalam
kegiatan bakureh tersebut, tidak pula diturunkan. Menurut saya
pribadi, hal ini bisa saja disebabkan oleh kemunculan teknologi radio dan disusul
ponsel pintar. Teknologi ini memudahkan orang untuk mengakses lagu, seperti
lagu-lagu daerah, lagu dangdut, lagu pop atau lagu rohani, yang bisa dijadikan
hiburan. Bakureh dapat di lihat sebagai sebuah perkerjaan
dapur atau pekerjaan di balik layar. Bakureh dalam segala
kegiatan membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Dari yang saya pahami bakureh mengajak kita peduli terhadap sesama, sadar
bahwa saling membutuhkan dan saling menghargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar