Selasa, 12 November 2019

Redupnya Bakureh di Nagari Kinari


Sumber: Daffa Muhammad Fadel Wibowo
Gotong-royong adalah falsafah hidup masyarakat Nagari Kinari. Di berbagai daerah yang budayanya berbeda-beda di Indonesia, falsafah gotong-royong hidup dalam bentuk kegiatan antar individu di kehidupan bermasyarakat. 

Bakureh adalah salah satunya. Secara umum, yang saya tahu tentang bakureh hanyalah sesederhana masak bersama antara ibu-ibu, namun ternyata ada beberapa hal yang menarik untuk saya pahami. Apa itu bakureh, bagaimana dampak dari bakureh bagi masyarakat, dan tata cara atau proses saat diadakan bakureh memasak, serta perkembangan saat ini.

Menjadi kuli, itulah istilah lain dari bakureh. Memang ini bisa menggambarkan kegiatannya, tapi tidak seperti menjadi kuli dalam pengertian negatif. Dalam keseharian masyarakat Nagari Kinari, bakureh adalah kegiatan gotong-royong antar warga, saling menyumbangkan tenaga, bekerja sama dalam suatu kegiatan. Salah satunya bakureh dalam kegiatan memasak. Memang bakureh lebih seperti aktivitas berkerjasama, sebagai orang dalam di sebuah kegiatan. Jika terdapat pesta seperti pernikahan tetangga, batagak gala (penyematan gelar adat), turun ka sawah (turun ke sawah), syukuran, dll, maka beberapa ibu-ibu akan bakureh, memasak untuk hidangan tamu dan warga yang datang.

Bakureh memasak dalam sebuah acara dilakukan dari pagi hari sampai petang, biasanya satu hari sebelum pesta dilaksanakan. Ibu-ibu rumah tangga yang menghabiskan waktu seharian untuk bakureh biasanya –meskipun tidak meminta izin langsung si tuan rumah- akan membawa beberapa bungkus makanan yang sudah matang untuk dibawa pulang. Hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Nagari Kinari saat bakureh. Karena saat proses bakureh berlangsung, ibu-ibu tidak akan punya waktu memasak di rumah, dan saat pulang dari bakureh pun mereka sudah terlalu lelah untuk masak lagi. Jadi, masakan yang dibawa pulang pun mencukupi porsi satu hari di setiap keluarga.

Saiful, kepala jorong Galanggang Tinggi juga menegatakan bahwa pada zaman dahulu orang-orang membuat kajang dari pelapah daun kelapa muda yang dirajut dan dijadikan sebagai atap dan tonggaknya dibuat dari bambu yang dipotong-potong. Sedangkan pada zaman sekarang orang-orang sudah banyak menggunakan terpal untuk membuat kajang. Hal ini dikarenakan selain cepat dan mudah menggunakan terpal, membuat kajang dari pelapah daun kelapa pun susah di zaman sekarang, karena pelapah daun kelapa sudah sangat jarang yang membuatnya.

Setelah tungku dan kajang selesai disiapkan, ibu-ibu mulai bekerja sama dan membagi tugas dalam urusan memasak nanti. Ada yang tugasnya membeli bahan-bahan ke pasar, ada yang tugasnya memotong bahan-bahan, menyiapkan peralatan, ada yang menggoreng, membuat gulai dan lain sebagainya. Masakan yang dibuat umumnya adalah masakan tradisional atau khas lokal seperti; rendang, gulai rabuang, gulai pisang, gulai dagiang, gulai cubadak, dan masih banyak lagi.

Dalam pesta pernikahan, banyaknya jenis makanan diistilahkan dengan duo baleh gulai dalam sabaki (dua belas gulai dalam satu baki).Beberapa hal yang dapat saya pahami dari penjelasan kepala Jorong Galanggang Tinggi, ternyata bakureh tidak hanya dilakukan pada acara-acara adat atau acara besar lainnya, bahkan pada saat ada gotong-royong warga kampung yang sedang membangun rumah, ngeronda, atau sekedar membersihkan lingkungan kampung dan ibu-ibu di sekitar memasak dengan inisiatif sendiri meskipun hanya dua atau tiga orang saja yang bekerja – dihidangkan kepada orang-orang yang sedang bergotong-royong.

Di Nagari Kinari tidak ada istilah baupah (‘memberi/menerima upah’). Artinya, bakureh dilakukan secara sukarela dan bergotong royong sebagai bentuk bantuan dari para tetangga untuk keluarga Sipangka. Meskipun begitu, secara adat, keluarga Sipangka tetap wajib mengundang tetangga secara langsung untuk meminta bantuannya memasak di dapur. Undangan ini sebagai perpanjangan hubungan silaturrahmi antara Sipangka dan para tetangga.

Saling mengundang ini menunjukkan kuat-lemahnya rasa kekerabatan kita dalam bertetangga. Selain itu, kewajiban mengundang dan datang bakureh sudah menjadi tradisi dari zaman nenek moyang. Sehingga, apabila misalnya salah satu tetangga lupa atau tidak diundang bakureh, tetangga tersebut tidak akan datang. Umumnya, kejadian seperti ini memang tidak dipermasalahkan atau tidak dimasukkan ke dalam hati. Sebab, masing-masing orang sudah paham bahwa dalam keadaan baralek, kita bisa saja tidak fokus dan melupakan beberapa hal, seperti mengundang salah satu tetangga.

Tradisi bakureh di Nagari Kinari mulai luntur. Salah satu contohnya adalah tradisi berbalas pantun dalam kegiatan bakureh. Salah satu penyebabnya adalah generasi terdahulu yang masih melestarikan berbalas pantun dan dendang tersebut sudah tidak aktif pergi bakureh. Menurut ibu Yus, kemungkinan orang yang masih dekat dengan tradisi bapantun (berbalas pantun) adalah mereka yang usianya 70 tahun ke atas.

Penyebab lainnya, adalah tradisi bapantun, yang menurut saya merupakan hiburan saat memasak dalam kegiatan bakureh tersebut, tidak pula diturunkan. Menurut saya pribadi, hal ini bisa saja disebabkan oleh kemunculan teknologi radio dan disusul ponsel pintar. Teknologi ini memudahkan orang untuk mengakses lagu, seperti lagu-lagu daerah, lagu dangdut, lagu pop atau lagu rohani, yang bisa dijadikan hiburan. Bakureh dapat di lihat sebagai sebuah perkerjaan dapur atau pekerjaan di balik layar. Bakureh dalam segala kegiatan membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dari yang saya pahami bakureh mengajak kita peduli terhadap sesama, sadar bahwa saling membutuhkan dan saling menghargai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AINA, Randang Kinari Nan Lamak yang Go International

Sumber: Andika Martha, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Andalas. Randang  tidak asing lagi oleh masyarakat yang tinggal di daerah...